Saya sangat bersyukur dilahirkan di sebuah desa 5 km sebelah utara sungai brantas, yang
lebih penting dari itu adalah prinsip hidup gotong royong sangat dijunjung
tinggi dalam setiap bidang kehidupan. Semua urusan yang menyangkut hajat hidup
orang banyak selalu dikerjakan secara bersama-sama dan tanpa ada hitung-hitungan
bayaran.
Urusan
lain seperti menanam tembakau, membangun gedung sekolah, tempat ibadah, hajatan
pernikahan atau sunatan dan kematian juga dikerjakan dengan cara seperti itu.
Waktu
terus berjalan dan jaman telah berubah, banyak perubahan terjadi desa saya.
Semangat gotong royong yang dulu sangat dijunjung tinggi dari waktu ke waktu
terus memudar. Titik awalnya dimulai dari sektor pertanian.
Pekerjaan mencangkul, membajak sawah, menanam dan
menyiangi tanaman padi pada saat itu biasanya dikerjakan oleh buruh warga desa
saya, mereka dibayar secara harian. Sementara untuk pekerjaan memanen padi, pemilik
sawah akan memberikan bagian bawon berupa sepersepuluh hasil petikan
padi kepada masing-masing pemetik. Hasil bawon satu sama lain biasanya
hampir sama karena cara dan alat yang dipakai semua juga sama.
Sabit
sebenarnya alat yang tidak begitu familier di desa saya, alat potong ini
biasanya dipakai para lelaki untuk mencari rumput untuk hewan ternak mereka.
Sejak saat itu mereka mulai mengajak suami dan anak laki-laki mereka untuk
membantu bahkan menggantikan pekerjaan memetik padi. Memanen padi yang dulu
menjadi domain perempuan, kini beralih menjadi domain lelaki.
Dampak sosial dari perubahan ini adalah hilangnya
keguyuban dan kehangatan saat memanen padi. Tidak ada lagi senda gurau para
perempuan pemetik padi, juga tidak ada lagi acara makan-makan bersama.
Pemandangan indah yang dulu biasa terlihat, kini berganti dengan persaingan
antar para lelaki pemetik padi. Yang ada dalam pikiran setiap pemetik sekarang
adalah bagaimana bisa menghasilkan padi sebanyak-banyaknya.
Suasana yang tidak sehat dan semakin sempitnya lahan
sawah di desa, membuat warga desa saya menarik diri dari dunia pertanian.
Mereka kemudian beralih profesi menjadi sopir, penjual
bakso, pedagang di
pasar, peternak bebek atau buruh di
pabrik tahu. Kini, hampir tidak ada lagi warga
desa saya yang mau terjun di sektor pertanian.
Karena
sulit mencari buruh tani dari warga setempat, para pemilik sawah kemudian
mencari tenaga kerja dari desa lain. Mereka biasanya datang dari satu desa yang
cukup jauh dari desa saya dalam jumlah sampai puluhan orang. Hitungan upahnya
biasa dilakukan secara borongan.
Kini, satu-satunya pekerjaan yang semangat gotong
royongnya masih tinggi mungkin tinggal pekerjaan yang berkaitan dengan soal
kematian. Untuk urusan yang satu ini hampir semuanya masih gratis, mulai dari
pembuatan makam, pengurusan jenazah, pembacaan tahlil dan lain-lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa komentar zaw